Galeri‎ > ‎Dokumentasi‎ > ‎

Profesor Santhakumar: Kehidupan Perempuan di Indonesia Lebih Baik daripada di India

diposting pada tanggal 19 Nov 2018, 08.04 oleh Ardianto Tola   [ diperbarui19 Nov 2018, 17.24 ]
IAIN Manado - Demikian kesimpulan kuliah tamu bertajuk "School for All: Comparing Indonesia
and India" yang dibawakan oleh Profesor V. Shantakumar, Ph.D, dosen dan peneliti dari Azim Premji University, India pada Senin (19/11/2018) di Aula Program Pascasarjana. Kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Manado itu diikuti oleh mahasiswa program magister dan program sarjana serta dosen IAIN Manado dibuka oleh Direktur Program Pascasarjana, Dr. Rivai Bolotio, M.Pd. Dalam sambutannya, Rivai Bolotio menyampaikan terima kasih atas kehadiran dan kesediaan Prof. Santhakumar memberikan kuliah tamu di Program Pascasarjana.  "Ini adalah wujud komitmen Program Pascasarjana IAIN Manado untuk terus mendorong kemitraan dengan ilmuwan dan peneliti internasional sehingga para mahasiswa dan dosen memiliki wawasan global", ungkapnya.

Di awal paparan materinya, Prof. Santhakumar yang dimoderatori oleh Sulaiman Mappiasse, Lc., M.Ed., Ph.D, dosen Program Pascasarjana yang juga merupakan Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan IAIN Manado mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari gadis remaja di India tidak menyelesaikan pendidikan hingga kelas sepuluh atau jenjang SMP. Dikemukakan bahwa para orang tua di India rata-rata hanya mendorong anak laki-laki mereka mengenyam pendidikan tinggi. Perempuan di India lebih banyak diorientasikan bekerja di sektor domestik. Jumlah perempuan yang mampu bekerja pada sektor publik sangat minim . Dan, hal ini menurut Prof. Santhakumar berimplikasi terhadap perkembangan sosial dan ekonomi India.

Pencitraan positif melalui berbagai pemberitaan tentang kemajuan pendidikan di India seperti banyaknya saintis atau ilmuwan di negara itu yang mampu bekerja dan berkiprah di tingkat internasional menurutnya di saat yang sama juga terdapat sebuah fakta bahwa saat ini banyak jumlah warga negara di India yang tidak dapat mengeny
am pendidikan atau menyelesaikan sekolah khususnya bagi kaum perempuan. "Ini merupakan dua kondisi ektsrem yang menjadi kenyataan di India dewasa ini", ungkap Prof. Santhakumar.

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Prof. Santhakumar mengungkapkan bahwa di Indonesia banyak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan dapat bekerja di luar sektor domestik. Kondisi ini menurutnya sangat menguntungkan dalam konteks perbaikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, Prof. Santhakumar juga tidak menampik adanya isu diskriminasi gender di Indonesia. Setidaknya, kondisi ini menurutnya sangat berubah pasca rezim orde baru di bawah kekuasaan Soeharto, di mana perempuan semakin memperoleh kesempatan yang luas dalam mengakses pendidikan tinggi dan bekerja di sektor publik.

Perbedaan mendasar antara Indonesia dan India dalam hal kehidupan perempuan yaitu di Indonesia pihak keluarga mempelai laki-lakilah yang harus membayar sejumlah uang (emas kawin) kepada pihak mempelai perempuan. Sebaliknya, di India, pihak perempuan yang memberi mahar kepada laki-laki. Adat-istiadat memberi mahar kepada pihak perempuan inilah yang cenderung mendorong para orang tua khususnya di Indonesia untuk memperhatikan pendidikan bagi anak perempuan untuk memperoleh nilai yang tinggi terhadap laki-laki atau mendapat mahar yang tinggi. Sebaliknya, di India, sebagian orang tua enggan menyekolahkan anak perempuan mereka pada jenjang lebih tinggi karena perempuan yang memiliki jenjang pendidikan tinggi dan tentu pula penghasilan yang tinggi dan menikah dengan laki-laki dengan pendidikan dan penghasilan rendah, maka perempuan bertanggung jawab secara ekonomi terhadap keluarga suaminya. "Jadi, keluarga suami yang akan menikmati harta dan penghasilan istri", ungkap Prof Santhakumar. Oleh karena itu, menurut Prof. Santhakumar, di India terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan, maka ia akan semakin berkeinginan pula menikah dengan laki-laki dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Dan, hal ini merupakan harapan orang tua, baik di Indonesia maupun di India, bahwa anak perempuan mereka mendapat suami dengan tingkat pendidikan tinggi.

Bedanya, perempuan di India tidak memiliki kebebasan memilih pasangan suami. Disebutkan oleh Prof. Santhakumar bahwa 90% perempuan India menikah atas pilihan orang tua. Bagi orang tua di India sangat menghawatirkan anak gadis mereka yang berpacaran atau menjalin hubungan dengan laki-laki (kontak fisik) sebelum menikah. Hal ini terutama dipengaruhi oleh sistem kasta yang berlaku di India. Orang tua sangat khawatir anak perempuan mereka memilih laki-laki dari kasta yang berbeda. Meskipun ada ketakutan akan seksualitas perempuan di berbagai masyarakat yang sedang berkembang, tetapi hubungan seksual/pernikahan antarkastalah yang menjadi faktor ketakutan paling besar di India. Seksualitas perempuan dikontrol (dengan tidak diperbolehkannya hubungan dengan laki-laki dari kasta dan kalangan sosial yang berbeda) demi kehormatan keluarga. Dalam konteks inilah para orang tua di India akan sangat ketat mengawasi anak perempuan mereka.

Sesuatu yang berbeda dengan Indonesia. Melalui riset lapangan yang dilakukannya di berbagai daerah di Indonesia, Prof Santhakumar menemukan bahwa tidak ada ketakutan di antara para orang tua jika anak perempuan mereka yang belum menikah bekerja jauh dari rumah, kemudian bertemu dan berhubungan dengan seseorang (laki-laki). Ia menceritakan pengalamannya mengunjungi dan mewawancarai beberapa orang tua (kelas menengah bawah) di berbagai daerah di Indonesia dan memperoleh data bahwa anak perempuan yang belum menikah bekerja di luar kota dan memiliki hubungan asmara hingga menikah dengan laki-laki pilihan sendiri. Para orang tua di Indonesia tidak enggan mengirim anak perempuan mereka ke tempat yang jauh untuk sekolah atau bekerja, termasuk penghasilan sendiri dan tidak memaksa perempuan untuk ikut keluarga laki-laki apabila sudah menikah. "Di beberapa daerah di Indonesia yang telah saya kunjungi sangat umum melihat perempuan pulang ke rumahnya di pinggiran kota dengan berkendara motor sendirian pada jam 11 atau 12 malam", ungkap Prof. Santhakumar. Mobilitas kerja perempuan yang tinggi inilah yang menjadikan perempuan Indonesia relatif memiliki tingkat finansial yang tinggi. 

Menurut Prof Santhakumar, perkembangan industri melalui kebijakan ekonomi bebas telah
menciptakan pekerjaan untuk perempuan di Indonesia. Hal ini juga telah mengubah pola pikir orang tua tentang peran pendidikan tinggi bagi anak-anak mereka. Meski dulu pernah ada diskriminasi terhadap perempuan untuk bekerja, namun kini hal itu telah berubah dengan sangat drastis. Pada intinya, tidak ada hal yang melarang perempuan Indonesia untuk bersekolah. Ia membadingkan dengan negara muslim, Pakistan dan Afganistan, dua negara yang berada di sebelah barat India. Di kedua negara itu menurut Prof. Santhakumar, banyak perempuan tidak bersekolah dan dan kebanyakan mereka bekerja di sektor domestik. Berbeda dengan Bangladesh, negara yang berada di sebelah timur India itu sangat berbeda dengan kehidupan perempuan di Pakistan dan di Afganistan. Perempuan Bangladesh memperoleh akses pendidikan tinggi dan memperoleh kesempatan yang luas bekerja di sektor publik.

Dari segi pendidikan, Prof. Santhakumar melihat bahwa para orang tua di Indonesia menyekolahkan anak perempuan mereka hingga jenjang pendidikan tinggi dan hampir semua orang Indonesia berpikir pentingnya pekerjaan bagi perempuan. "Saya bisa melihat bagaimana para orang tua kelas menengah mendorong anak perempuan mereka untuk pergi dan tinggal di luar kota dan bekerja, dan di situlah kemudian dia menemukan pasangan hidup", ungkapnya.

Di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas, meski lahir kebangkitan keberagamaan, tetapi di saat yang sama tetap mendorong perempuan untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan tinggi. "Satu hal yang menarik dalam kunjungan saya di beberapa sekolah di pinggiran kota Manado, misalnya, saya memperoleh data dari para guru di sekolah bahwa anak-anak perempuan lebih aktif mengikuti pelajaran dibandingkan anak laki-laki", ungkap Prof. Santhakumar. Singkatnya, perempuan Indonesia menyelesaikan pendidikan sekolah dan berpartispasi dalam pekerjaan (berpenghasilan) di mana pun pekerjaan itu tersedia. (at)
Comments